Senin, 31 Agustus 2009

Kenanglah Saat-Saat Indah Bersama Orang Tua


Di ruas jalan H Mulyadi Joyo Martono No 19, Bekasi Timur, berdiri beberapa gedung milik Departemen Sosial. Sekilas nampak tertata rapi dan bersih. Bangunan itu didominasi warna kuning layu. Entah mengapa, warna itu seakan menggambarkan sebuah usia, bukan usia bangunan itu, tapi usia para penghuninya yang kebanyakan sudah tua. Ya, itu bangunan panti Tan Miyat, tempat para jompo dan tuna netra mengisi hari-hari mereka.

Tetapi sebuah panti jompo tak sekedar labuhan hidup di penghujung usia. Meski kematian tetaplah gelap. Panti itu dan juga panti-panti yang lain, sesungguhnya adalah muara bagi berjuta kenangan. Tentang masa lalu yang mulanya liniar, tertib dan bertabur senyum. Tetapi tiba-tiba turun dan menghujam tajam. Atau kenangan tentang pahitnya kehilangan orang-orang terdekat, anak-anak yang tak bisa lagi menerima orang tua mereka yang renta dan tak punya tenaga. Disini seringkali kenangan pahit jauh lebih mengacaukan pikiran ketimbang rasa sakit fisik akibat termakan usia.

Pada setiap golongan waktu ada kenangannya. Meski tidak selamanya istimewa. Seperti Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, setiap kali ia datang, ada begitu banyak kenangan pada berjuta orang. Pada kita, orang tua kita, anak-anak kita, juga pada seorang Atem, wanita tua di panti Tan Miyat itu.

Sebenarnya saya punya anak. Perempuan, tapi dia nggak mau mengakui saya sebagai ibunya. Saya nggak tahu dia dimana sekarang, tuturnya lirih. Pandangannya menerawang. Matanya mulai berkaca-kaca. Perempuan asal Cikampek, Jawa Barat, yang biasa dipanggil Bu Atem itu mengisahkan, bahwa anak perempuannya itu telah bersuami dan punya tiga orang anak. Ia merasa dirinya dibiarkan pontang-panting, dari satu tempat berteduh ke tempat yang lain. Tak dipedulikan pula apakah ibunya makan atau tidak,kehujanan atau kepanasan, sehat atau sakit bahkan tidak peduli apakah sekarang masih hidup. Nggak pernah dia itu cari saya ada dimana, dia nggak tahu saya disini. Boro-boro nengok, tahu aja enggak, ungkapnya datar seraya melempar pandangan ke pintu kamar yang terbuka lebar.

Lain halnya dengan Hans Huripno. Usianya 53. Belum terlampau tua, tetapi fisiknya telah renta. Ia punya penyakit aneh. Karena sakit itu pula istrinya kemudian meminta cerai. Dari istrinya itu, ia dikaruniai seorang anak perempuan. Ramadhan yang syahdu, seakan menghamparkan begitu banyak kenangan masa lalunya. Cerita pun mengalir panjang. Selama bekerja saya sudah merambah hampir seluruh bagian wilayah Indonesia. Sebelum sakit, saya pernah menangani desain pabrik Unilever di Cibitung. Saya dulu makan, kerja dijamin perusahaan, kendaraan serba ada. Pulang ke jawa setiap tiga bulan sekali naik pesawat. Makan disediakan, pakaian dicucikan. Makan serba ala Eropa dan menjelang sholat isya saya selalu refreshing pergi ke Sogo, Sarinah dan serendah-rendahnya show room untuk menghilangkan rasa jenuh, kenang Hans.

Ia melanjutkan… Istri saya selalu shopping, serendah-rendahnya ke Matahari. Saya ajak anak dan istri saya rekreasi sampai jauh. Hidup serba enak, apalagi ketika baru datang di suatu pekerjaan awal, kita menginap di hotel dulu minimal dua minggu. Saya dulu pernah merasakan bagaimana rasanya punya mobil sendiri, rumah sendiri. Dan sekarang saya tidak bisa membayangkan harus tinggal di panti. Ya Allah, begini akhirnya hidup saya, mata Hans nampak berkaca-kaca. Suaranya sejenak tertahan. Dua butir air matanya nyaris jatuh bersamaan. Hiks..

Sejak enam bulan di panti itu, ia belum memberitahu anaknya, juga mantan istrinya. Saya ingin menjaga perasaan mereka. Terutama anak saya. Sebab, dulu waktu di Brebes ia juga sudah masuk panti. Tapi anak saya bilang, malu punya orang tua di panti. Ia bilang kepada ibunya supaya tidak cerita-cerita kepada orang lain perihal saya, tambah Hans. Saya tahu perasaan anak saya dan menerima ini semua, walaupun hati ini terasa pedih hibur Hans.

Begitulah, sebagai apa kita hari ini, kenangan-kenangan seperti itu harus memberi kita kesadaran baru, bahwa ada orang-orang yang berjasa terhadap kita. Pada orang tua kita adalah orang-orang terdekat kita, setidaknya secara nasab dan hubungan darah. Bila mereka tidak terlalu berjasa secara materi, setidaknya karena mereka kita ada. Itu bahkan jasa persambungan yang paling prinsipil.

Menjadi anak-anak atau orang tua hanyalah soal pergiliran peran. Bila waktu memadai, ada jatah umur dan takdir berjodoh dengan ikhtiar atau ikhtiar berjodoh dengan takdir, setiap kita toh akan tua juga. Dan itu artinya, kerinduan orang-orang tua kita hari ini, kepada bakti dan balas budi kita, adalah juga kerinduan kita kelak kepada hal serupa kepada anak-anak kita. Maka, kenang, kenanglah orang tua kita. Sebut, sebutlah mereka dalam do'a dan munajat kita. Toh, kelak kita juga akan menjadi tua, bila takdir membawa kita kesana.


Sumber : unknown