oOo
CUCU KU
Jumat, 19 November 2010
Kisah Istri Sholehah
oOo
Selasa, 12 Oktober 2010
Kisah - Kisah Nasruddin Hoja ( BERSEMBUNYI )
Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nasrudin. Kabetulan Nasrudin sedang melihatnya. Karena ia sedang sendirian aja, Nasrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri memulai aksi menggerayangi rumah. Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang berharga. Akhirnya ia membuka peti besar, dan memergoki Nasrudin yang bersembunyi.
"Aha!" kata si pencuri, "Apa yang sedang kau lakukan di sini, ha?"
"Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini."
Kisah - Kisah Nasruddin Hoja ( API...!!! )
Hari Jum'at itu, Nasrudin menjadi imam Shalat Jum'at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah,
"Api ! Api ! Api !"
Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,
"Dimana apinya, Mullah ?"
Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,
"Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."
Rabu, 28 Juli 2010
Kaos Kaki Bapak
Rabu, 23 Juni 2010
Cinta Itu Berkorban
Setengah mati nahan tangis, akhirnya air mata gue jebol juga. Gue akui gue emang tipe artis bollywood banget. Gampang nangis…eh yang suka nangis itu artis India apa Korea ya? Yang pasti secara tampang sih gue Shakruk Khan banget. Haah!
Yang pasti tangisan suci ini akibat nonton Kick Andy versi pasangan suami istri yang ga normal. Maksud gue yang satu fisiknya normal yang satu engga’. Cuma hebatnya mereka kayak pasangan sejati banget. Best couples in the world dah!
Acara Kick Andy edisi ‘cinta ga melihat fisik’ ini ditayangin 2 minggu berturut-turut. Diulang jum’at malem ama minggu sore. Biasanya walopun jumat malem gue udah nonton, minggunya nonton lagi. Abis apa aja yang diangkat ama Kick Andy emang keren dan menyentuh sih. Ga kayak infotainment itu.
Yang edisi minggu pertama dikisahkan beberapa pasangan yang perempuan fisiknya normal juga cantik, sementara suaminya ga normal, ada yang gagu, buta dan ada ga bisa jalan pake. Pokoknya kalo dibayangin kagak bakal bisa nikah deh. Tapi buktinya mereka nikah, dan kalo ditanya apakah mereka bahagia, merekapun menjawab ya!
Pas minggu itu, abis selesai nonton, Fatimeh istri gue bilang, “Tuh, kan Pa, wanita itu emang bisa menerima seorang pria buat jadi suaminya dalam kondisi apapun. Wanita itu hebat kan kayak mama?”
Gue sih waktu itu bilang, “ya ma, wanita itu hebat ya. Setau papa yang namanya pria pasti ga bakalan melakukan hal yang sama. Mereka pasti mikirin fisiknya dulu number one!”
“Kalo kita ni ya pa, bisa menerima cowok apapun dia, yang penting udah yakin. Apalagi yakinnya ditambah cinta.”
“Ungkapan cinta itu buta berarti emang benar adanya ya, Ma.” Tanya gue kemudian. Gue sih ga menyangsikan cintanya die ke gue. Tapi ga ada salahnya pura-pura nanya. Pura-pura tersesat di jalan.
“Buta, tapi bagi mama tetep ngeliat dikit kok. Mata yang satu dipejemin, yang satu ngelirik-ngelirik. Buktinya mama milih papa yang ganteng. Hehe...”
“Papa ganteng ya? Alhamdulillah ada juga yang mengakuinya, hehe...tapi soal menerima apa adanya gimana tuh, Ma?”
“Ya, mama juga kan menerima papa adanya, pas nikah dulu kan papa juga belom ada penghasilan. Kita blom punya apa-apa. Tapi tetep mama trima. Bukan seperti cewek yang lain. Kalo yang lain kan bilangnya gini, ya udah kamu sekarang adanya apa? Klo ada mobil, rumah sendiri, kerjaan tetap baru aku terima jadi suamiku.”
“Sebenernya ga salah juga lho Ma, kalo ada mempersyaratkan ini dan itu. Kan itu juga bisa membangun kebahagiaan pasutri.”
“Iya, tapi jangan diutamakan banget dunk. Kata orang pinter, kebahagiaan itu bukannya dicari tapi dibangun. Jadi apapun dasarnya, background bahkan pisik seseorang tidak bisa dijadikan barometer utama untuk membangun keluarga.”
Bener juga kata istriku, sejak kapan dia pinter. Hehe.
Paling tidak apa yang ditayangin di Kick Andy itu menjadi bukti, bahwa dasar fisik yang sering didambakan pada sang pasangan tidak selalu bisa dijadikan acuan. Asal kita tulus menerima apa adanya pasangan kita maka kebahagiaan bisa dibangun. Sebaliknya bila pencariaan kita hanya pada kesempurnaan-kesempurnaan fisik dan ekonomi, bisa bisa itu hanya sementara dan semu. Betapa banyak pasangan sempurna hasil akhirnya tidak bahagia, cerai, dsb...
Pasangan selebritis misalnya, mereka adalah contoh kongkret betapa kesempurnaa, ketenaran dan kekayaan tidak berarti bila tidak adanya upaya saling memahami. Bahkan cenderung mencurigai. Jelas juga, artis kan disuruh maen film atau sinetron berpasangan ama sapa aja biasa. Gimana ga cemburu pasangannya? Dan juga sebab yang lainnya. Misalnya ada artis baru yang lebih cakep, berpaling deh. Penghasilan bulanannya ga sama. Statusnya ada yang lebih tinggi. Keturunannya ada yang lebih terhormat, dll.
“Seringnya ni ya Pa, kita harus banyak memberikan pengorbanan untuk menciptakan kebahagiaan.”
“Termasuk pengorbanan perasaan bahwa pasangan kita bukan makhluk yang sempurna. Yang pasti ada kelemahan dan kesalahan ya Ma.”
“Lihat bagaimana ada yang menerima suaminya ga bisa berjalan normal, ada yang suaminya buta, ada yang suaminya ga bisa bicara. Tapi mereka masih mau menerima!”
“Cinta tanpa pengorbanan itu mustahil. Bohong belaka. Ingat dulu, apa yang dilakukan nenek ketika kakek divonis ginjalnya harus diangkat semua karena kecing batu. Nenek dengan ikhlas dan sadar nyerahin ginjalnya satu buat kakek hingga kakek sampai sekarang dengan ijin Allah masih hidup. Itulah cinta, pengorbanan!”
“Betul, Pa. Kalau semua orang memahami hal itu, maka kemakluman-kemakluman bisa diciptakan, rasa maaf dan penghormatan bisa ditumbuhkan. Dan pengertian-pengertian bisa disambungkan. Ketika pengorbanan dilakukan maka betapa cepat cinta bisa ditumbuhkan!”
“Selanjutnya keluarga yang sakinah Mawaddah wa rahmah bisa muncul ke permukaan!”
Oleh : Arifwita
Sumber : Eramuslim.com
Jumat, 11 Juni 2010
Kecoa Suka Tantangan
Ada yang unik di sini. Seekor kecoa. Binatang menjijikkan dan menyebalkan. Berwarna coklat besar dengan antena panjang di kepala. Kakinya Masya Allah kekar sekali. Tubuhnya seukuran jempol kaki orang. Makmur rupanya si kecoa ini.
Mandi bareng sama Kecoa? Ndak lah ya. Makanya, aku gencarkan aksi menyiram air habis-habisan agar dia hanyut ke lubang pembuangan. Mengusirnya? Bukan cara efektif, menurutku. Kecoa akan hinggap di tempat bersih lain, itu pilihan yang buruk. Membunuh kecoa? Aku lagi ndak mood membunuhnya. Aku ingin menyingkirkannya saja.
Toh kalau dibunuh, aku tak ingin melihat zombie di dekatku. Kecoa itu binatang yang sulit dibunuh. Kecuali diremukkan seluruh body. Resikonya, ampun baunya. Kecoa akan tetap bertahan hidup meski dipotong menjadi dua bagian.
Oh, ya, ada satu hal yang membuat kecoa mati perlahan-lahan. Buat dia pada posisi kaki di atas. Dia paling benci posisi itu dan berusaha meronta-ronta kembali tengkurap. Paling-paling 4 hari dia akan mati kecapean. Uh… sadis man!
Nah, waktu kuguyur air bergayung-gayung, dia terus saja bertahan, bahkan malah menuju arah di mana air itu dialirkan, terus begitu. Terus merangkak melawan arus. Ini yang menjadi perhatianku. Aku iseng terus mengguyurnya dengan air pada kecepatan lebih tinggi. Eh... dia berusaha bertahan, mensejajarkan tubuhnya ke arah air mengalir. Dan berjalan menuju kakiku. Ih, ini bandel amat sih! Menyebalkan! Akhirnya aku malah kasihan, kelelahan, dan membiarkan dia mojok di ruangan ini.
Ah, kecoa ini, walau mengesalkan dia makhluk detritrivor, pengurai sampah yang dibutuhkan. Hebatnya, dia hidup di antara kebencian manusia. Mana ada orang yang suka dengan kecoa. Makanan yang tak sengaja disinggahinya akan langsung dibuang. Tempat bersih yang dijejakinya akan segera dibersihkan ulang.
Aku respek sama perjuangannya untuk bertahan menerima serangan luar yang begitu dahsyat. Paling sulit untuk dihancurkan dan dibunuh. Semangat hidupnya tinggi di antara kebencian semua orang. Seakan-akan dia berbicara,”Kehidupanku sangat berarti bagi kalian. Aku hidup untuk kebaikan lingkungan. Oleh karenanya, kenapa aku diciptakan, masa bodoh kebencian kalian.”
Satu-satu kelemahan si kecoa adalah dirinya sendiri. Kalau dia terjungkal pada posisi terlentang. Ia tak bisa kembali ke posisi semula. Itulah kiamat baginya.
Mirip seperti manusia, penghancur utama hidupnya adalah dirinya sendiri. Persepsi dan pikiran di dalam dirinya. Apakah positif atau negatif. Ketika dia berpikir negatif, menganggap segala sesuatu dari luar adalah serangan dan dia merasa tak berdaya , ia akan kalah.
Namun ketika ia berpikir positif, segala serangan dari luar merupakan masukan yang berharga untuk mengevaluasi langkahnya dan menjadi cambuk kemajuan. Dia akan menjadi orang yang luar biasa di tengah deras ketidaksukaan.
Les Giblin mengatakan kebanyakan diri kita berharap dan mencari cara agar orang lain beranggapan baik terhadap diri kita. Segala upaya diusahakan untuk menarik perhatian orang lain. Supaya kita dianggap orang shalih, shalihah, baik, ramah, dan lain-lain. Kita bahkan memanipulasi diri kita. Menipu diri.
Namun sebenarnya bukan begitu caranya, semua berawal dari pikiran dan persepsi kita. Kala kita berkata pada diri kita, bahwa aku orang ramah, aku sangat mencintai diriku, mensyukuri karunia Allah, aku orang yang terbuka dan baik hati. Tanpa disadari semua aktivitas dan perbuatan kita dikendalikan sesuai apa persepsi dan pikiran kita tentang diri kita tersebut. Maka yang terjadi adalah orang-orang di sekitar kita pun beranggapan seperti yang kita inginkan dan mencintai kita.
Percaya tidak? Saat kita bilang kita orang ramah setiap hari di depan cermin, dan kita meyakini hal itu. Tanpa kita sadari tiap kali berjumpa orang lain kita lemparkan senyum tulus, orang pun membalas hal serupa. Seyuman yang tulus juga. Lalu bagaimana kalau kita berpikir kita adalah orang sukses?
Terima kasih kecoa, sungguh kamu diciptakan tanpa sia-sia.
Penulis : Aris Solikhah
Sumber : KotaSantri.com
Kamis, 20 Mei 2010
Nasi, Garam Dan Minyak Jelantah
Setelah puas menghilangkan dahaga, saya dan beberapa orang teman kemudian sedikit kebingungan untuk membuang limbah plastik, sisa minuman dan makanan. Akhirnya kami pun mendapatkan akal untuk membuangnya di sela-sela pagar yang mengitari masjid itu. Ketika hendak beranjak meninggalkan tempat kami nongkrong tadi, tiba-tiba datang seorang laki-laki bertubuh legam dan berpakaian lusuh mengambil plastik, yang masih berisi es dan cuka empek-empek yang telah kami buang. Dan mau tahu apa yang dilakukan laki-laki itu. Saya melihatnya, laki-laki itu meminum es yang masih tersisa di plastik yang telah saya buang. Setelah puas, kemudian ia kembali mengambil plastik yang masih berisi cuka empek-empek. Dan menghirupnya sampai habis. Kemudian membuang plastiknya dan meninggalkan saya dan teman-teman yang masih tertegun menyaksikan kejadian yang hanya berlalu beberapa detik itu.
Sesampai di rumah menjelang magrib, saya kembali teringat kejadian siang tadi. Hati saya miris menangis dan merasa begitu bodoh dan tersindir. Selama ini saya jarang bersimpati kepada pengamen di bus-bus yang bobrok atau pengemis-pengemis yang banyak berjajar di jembatan-jembatan penyeberangan. Toh saya pikir mereka hanya manusia-manusia pemalas yang hanya menggantungkan hidupnya dari belas kasihan orang lain. Namun, saya tidak pernah berpikir serius, ternyata kehidupan begitu keras, hingga membuat banyak orang yang kelaparan dan makan dengan mengais-ngais sisa makanan orang lain yang telah dianggap sampah.
Tiba-tiba ingatan saya, tertuju pada kejadian belasan tahun yang lalu. Waktu itu saya masih bocah ingusan yang baru duduk di sekolah dasar. Salah satu teman bermain saya, sebut saja namanya Ita pernah bertanya kepada saya.
“Eh, kamu kalo makan, senengnya pake lauk apa,” tanyanya.
“Oh, kalo aku di rumah, paling seneng makan nasi sama garam dan minyak jelantah,” ujarnya bangga.
Mendengar semangatnya ia bercerita tentang makanan favoritnya itu, membuat saya mersa iri. Hingga pada suatu kesempatan ketika saya bertandang kerumahnya yang sempit dan berlantai tanah, sayapun memintanya untuk menunjukkan makanan favoritnya itu. Sesampainya dirumahnya, teman saya itupun menunjukkan makana favoritnya itu, dan akhirnya terjawablah sudah pertanyaan saya bagaimana bentuk si minyak jelantah itu. Minyak sisa menggoreng yang warnanya sudah menghitam, mungkin karena seringnya digunakan untuk menggoreng. Kemudian ia mencampurnya dengan garam dan menuangkannya di atas nasi putih, untuk kemudian memakannya dengan lahap. Begitu irinya saya melihat dia melahap makanan favoritnya itu, hingga saya pun buru-buru pulang ke rumah, tentu karena penasaran dengan rasa makanan favoritnya itu.
Sesampai dirumah, mulailah saya mencari “sang minyak jelantah” di atas penggorengan yang warnanya tidak sehitam ketika saya lihat di rumah Ita teman saya. Kemudian mencampurnya dengan garam, dan menyiramkannya di atas sepiring nasi putih yang telah saya siapkan. Satu suapan masuk kemulut saya. Alhasil sayapun muntah.
Saat itu yang ada dipikiran kecil saya, adalah perasaan iri kepada teman saya Ita. Mengapa dia begitu menikmati makanan favoritnya itu, sedangkan saya malah memuntahkannya. Apakah ada yang salah denagn lidah saya? Menjelang dewasa, sayapun mengerti dengan sendirinya. Ya, sang Ita mungkin telah terbiasa dengan nasi, garam, dan minyak jelantahnya. Hingga yang ada di lidahnya, bukan lagi enak, tahu tidak enaknya ketika makanan itu masuk kemulutnya, tetapi lebih kepada kebutuhan perut yang tidak bias menimbang untuk memilih makan yang masuk kedalamnya. Seperti juga dengan lelaki lusuh yang saya temui di dekat masjid Agung itu. Mengapa lelaki itu tidak mersa jijik ketika memakan sampah sisa makanan orang lain.
Saya memang bukan seorang anak konglomerat yang memiliki perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Tetapi bukan juga sang Ita yang makan dengan nasi, garam dan minyak jelantah. Cukuplah untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan asupan gizi yang lumayan. Ketika saya begitu nelangsa, karena uang kiriman dari orang tua, tidak sebanyak yang diterima oleh teman saya yang memiliki laptop dan kamera digital. Saya mencoba untuk mencambuk hati saya dengan mengenang ita teman kecil saya. Ketika saya merasa begitu miskin karena tidak semua keinginan saya bisa semuanya terwujud. Saya mencoba untuk lebih banyak melihat ke bawah. Pengamen-pengamen cilik dengan pakaian kumal dan kericikan lusuhnya. Mbah-mbah di pasar tradisional yang menjual sayuran yang sudah layu. Wanita-wanita muda yang usianya mungkin jauh di bawah saya di tempat-tempat pengisian bahan bakar. Gadis kecil yang sering meneriakkan nasi uduk di tempat kos saya yang lama. Bapak penjual empek-empek yang berjalan lebih dari 20 Km. Melihat itu semua, membuat saya merasa begitu kecil. Ternyata selama ini saya baru sadar. Uang ongkos angkot saya pergi dan pulang dari kampus. Makanan-makanan yang saya beli di warung-warung nasi. Cemilan yang menemani malam-malan saya. Pulsa di hp butut saya. Buku-buku yang dengan bangganya saya pamerkan kepada teman-teman saya. Fotokopian tugas kuliah saya. Ternyata semua itu berasal dari kiriman orang tua saya setiap bulan. Dan bentuk belas kasihan dari sang Maha Pemberi kepada diri saya yang hina dan kikir untuk berinfak walau hanya seribu, dua rupiah. Dan semua itu membuat saya malu, sungguh. Wallahu’alam.