Jumat, 19 November 2010

Kisah Istri Sholehah


Kisah nyata...

Usia istri Yaqin masih sangat muda, sekitar 19 tahun. Sedangkan usia Yaqin waktu itu sekitar 23 tahun. Tetapi mereka sudah berkomitmen untuk menikah.

Istrinya Yaqin cantik, putih, murah senyum dan tutur katanya halus. Tetapi kecantikannya tertutup sangat rapi. Dia juga hafal Al-Qur’an di usia yang relatif sangat muda , Subhanallah…

Sejak awal menikah, ketika memasuki bulan kedelapan di usia pernikahan mereka, istrinya sering muntah-muntah dan pusing silih berganti… Awalnya mereka mengira “morning sickness” karena waktu itu istrinya hamil muda.

Akan tetapi, selama hamil bahkan setelah melahirkanpun istrinya masih sering pusing dan muntah-muntah. Ternyata itu akibat dari penyakit ginjal yang dideritanya.

Satu bulan terakhir ini, ternyata penyakit yang diderita istrinya semakin parah..

Yaqin bilang, kalau istrinya harus menjalani rawat inap akibat sakit yang dideritanya. Dia juga menyampaikan bahwa kondisi istrinya semakin kurus, bahkan berat badannya hanya 27 KG. Karena harus cuci darah setiap 2 hari sekali dengan biaya jutaan rupiah untuk sekali cuci darah.

Namun Yaqin tak peduli berapapun biayanya, yang terpenting istrinya bisa sembuh.

Pertengahan bulan Ramadhan, mereka masih di rumah sakit. Karena, selain penyakit ginjal, istrinya juga mengidap kolesterol. Setelah kolesterolnya diobati, Alhamdulillah sembuh. Namun, penyakit lain muncul yaitu jantung. Diobati lagi, sembuh… Ternyata ada masalah dengan paru-parunya. Diobati lagi, Alhamdulillah sembuh.

oOo

Suatu ketika , Istrinya sempat merasakan ada yang aneh dengan matanya. “Bi, ada apa dengan pandangan Ummi?? Ummi tidak dapat melihat dengan jelas.” Mereka memang saling memanggil dengan “Ummy” dan ” Abi” . sebagai panggilan mesra. “kenapa Mi ?” Yaqin agak panik “Semua terlihat kabur.” Dalam waktu yang hampir bersamaan, darah tinggi juga menghampiri dirinya… Subhanallah, sungguh dia sangat sabar walau banyak penyakit dideritanya…

Selang beberapa hari, Alhamdulillah istri Yaqin sudah membaik dan diperbolehkan pulang.

Memasuki akhir Ramadhan, tiba-tiba saja istrinya merasakan sakit yang luar biasa di bagian perutnya, sangat sakiiit. Sampai-sampai dia tidak kuat lagi untuk melangkah dan hanya tergeletak di paving depan rumahnya.

oOo

“Bi, tolong antarkan Ummi ke rumah sakit ya..” pintanya sambil memegang perutnya…

Yaqin mengeluh karena ada tugas kantor yang harus diserahkan esok harinya sesuai deadline. Akhirnya Yaqin mengalah. Tidak tega rasanya melihat penderitaan yang dialami istrinya selama ini.

Sampai di rumah sakit, ternyata dokter mengharuskan untuk rawat inap lagi. Tanpa pikir panjang Yaqin langsung mengiyakan permintaan dokter.

“Bi, Ummi ingin sekali baca Al-Qur’an, tapi penglihatan Ummi masih kabur. Ummi takut hafalan Ummi hilang.”

“Orang sakit itu berat penderitaannya Bi. Disamping menahan sakit, dia juga akan selalu digoda oleh syaitan. Syaitan akan berusaha sekuat tenaga agar orang yang sakit melupakan Allah. Makanya Ummi ingin sekali baca Al-Qur’an agar selalu ingat Allah.

Yaqin menginstal ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam sebuah handphone. Dia terharu melihat istrinya senang dan bisa mengulang hafalannya lagi, bahkan sampai tertidur. Dan itu dilakukan setiap hari.

“Bi, tadi malam Ummi mimpi. Ummi duduk disebuah telaga, lalu ada yang memberi Ummi minum. Rasanya enaaak sekali, dan tak pernah Ummi rasakan minuman seenak itu. Sampai sekarangpun, nikmatnya minuman itu masih Ummi rasakan”

“Itu tandanya Ummi akan segera sembuh.” Yaqin menghibur dirinya sendiri, karena terus terang dia sangat takut kehilangan istri yang sangat dicintainya itu.

Yaqin mencoba menghibur istrinya. “Mi… Ummi mau tak belikan baju baru ya?? Mau tak belikan dua atau tiga?? Buat dipakai lebaran.”

“Nggak usah, Bi. Ummi nggak ikut lebaran kok” jawabnya singkat. Yaqin mengira istrinya marah karena sudah hampir lebaran kok baru nawarin baju sekarang.

“Mi, maaf. Bukannya Abi nggak mau belikan baju. Tapi Ummi tahu sendiri kan, dari kemarin-kemarin Abi sibuk merawat Ummi.”

“Ummi nggak marah kok, Bi. Cuma Ummi nggak ikut lebaran. Nggak apa-apa kok Bi.”

”Oh iya Mi, Abi beli obat untuk Ummi dulu ya…??” Setelah cukup lama dalam antrian yang lumayan panjang, tiba-tiba dia ingin menjenguk istrinya yang terbaring sendirian. Langsung dia menuju ruangan istrinya tanpa menghiraukan obat yang sudah dibelinya.

oOo

Tapi betapa terkejutnya dia ketika kembali . Banyak perawat dan dokter yang mengelilingi istrinya.

“Ada apa dengan istriku??.” tanyanya setengah membentak. “Ini pak, infusnya tidak bisa masuk meskipun sudah saya coba berkali-kali.” jawab perawat yang mengurusnya.

Akhirnya, tidak ada cara lain selain memasukkan infus lewat salah satu kakinya. Alat bantu pernafasanpun langsung dipasang di mulutnya.

Setelah perawat-perawat itu pergi, Yaqin melihat air mata mengalir dari mata istrinya yang terbaring lemah tak berdaya, tanpa terdengar satu patah katapun dari bibirnya.

“Bi, kalau Ummi meninggal, apa Abi akan mendoakan Ummi?” “Pasti Mi… Pasti Abi mendoakan yang terbaik untuk Ummi.” Hatinya seakan berkecamuk. “Doanya yang banyak ya Bi” “Pasti Ummi” “Jaga dan rawat anak kita dengan baik.”

Tiba-tiba tubuh istrinya mulai lemah, semakin lama semakin lemah. Yaqin membisikkan sesuatu di telinganya, membimbing istrinya menyebut nama Allah. Lalu dia lihat kaki istrinya bergerak lemah, lalu berhenti. Lalu perut istrinya bergerak, lalu berhenti. Kemudian dadanya bergerak, lalu berhenti. Lehernya bergerak, lalu berhenti. Kemudian matanya…. Dia peluk tubuh istrinya, dia mencoba untuk tetap tegar. Tapi beberapa menit kemudian air matanya tak mampu ia bendung lagi…

Setelah itu, Yaqin langsung menyerahkan semua urusan jenazah istrinya ke perawat. Karena dia sibuk mengurus administrasi dan ambulan. Waktu itu dia hanya sendiri, kedua orang tuanya pulang karena sudah beberapa hari meninggalkan cucunya di rumah. Setelah semuanya selesai, dia kembali ke kamar menemui perawat yang mengurus jenazah istrinya.

“Pak, ini jenazah baik.” kata perawat itu. Dengan penasaran dia balik bertanya. “Dari mana ibu tahu???” “Tadi kami semua bingung siapa yang memakai minyak wangi di ruangan ini?? Setelah kami cari-cari ternyata bau wangi itu berasal dari jenazah istri bapak ini.” “Subhanalloh…”


oOo

Tahukah sahabatku,… Apa yang dialami oleh istri Yaqin saat itu? Tahukah sahabatku, dengan siapa ia berhadapan? Kejadian ini mengingatkan pada suatu hadits

“Sesungguhnya bila seorang yang beriman hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh segerombol malaikat dari langit. Wajah mereka putih bercahaya bak matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga. Selanjutnya mereka akan duduk sejauh mata memandang dari orang tersebut. Pada saat itulah Malaikat Maut ‘alaihissalam menghampirinya dan duduk didekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: “Wahai jiwa yang baik, bergegas keluarlah dari ragamu menuju kepada ampunan dan keridhaan Allah”. Segera ruh orang mukmin itu keluar dengan begitu mudah dengan mengalir bagaikan air yang mengalir dari mulut guci. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat maut menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejap pun berada di tangan Malaikat Maut. Para malaikat segera mengambil ruh orang mukmin itu dan membungkusnya dengan kain kafan dan wewangian yang telah mereka bawa dari surga. Dari wewangian ini akan tercium semerbak bau harum, bagaikan bau minyak misik yang paling harum yang belum pernah ada di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruhnya itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: “Ruh siapakah ini, begitu harum.” Malaikat pembawa ruh itupun menjawab: Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terbaik yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya).” (HR Imam Ahmad, dan Ibnu Majah).

“Sungguh sangat singkat kebersamaan kami di dunia ini , akan tetapi sangat banyak bekal yang dia bawa pulang. Biarlah dia bahagia di sana” Air matapun tak terasa mengalir deras dari pipi Yaqin.

dikutip dari : Muhammad Iqbal Al-abror, dikutip dari group Lentera Hati di Facebook

Selasa, 12 Oktober 2010

Kisah - Kisah Nasruddin Hoja ( BERSEMBUNYI )


Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nasrudin. Kabetulan Nasrudin sedang melihatnya. Karena ia sedang sendirian aja, Nasrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri memulai aksi menggerayangi rumah. Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang berharga. Akhirnya ia membuka peti besar, dan memergoki Nasrudin yang bersembunyi.


"Aha!" kata si pencuri, "Apa yang sedang kau lakukan di sini, ha?"


"Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini."




desaint

Kisah - Kisah Nasruddin Hoja ( API...!!! )


Hari Jum'at itu, Nasrudin menjadi imam Shalat Jum'at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah,


"Api ! Api ! Api !"


Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,


"Dimana apinya, Mullah ?"


Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,


"Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."




desaint

Rabu, 28 Juli 2010

Kaos Kaki Bapak

Sejak kecil saya tidak terlalu dekat dengan almarhum Bapak saya. Saudara saya memang gak sedikit, jadi wajar jika Bapak jarang menemani anaknya satu per satu dengan kesibukannya.

Bapak saya penghobi jalan-jalan, kalau dipikir-pikir hobi itu yang menurun kepada saya. Hampir setiap akhir pekan ada jalan-jalan keluarga, sering kakak sulung saya ditinggal, sebab mobil tak muat, jadi harus mengalah kepada adik-adiknya, lagian kakak sulung saya lebih suka main dengan teman-temannya, maklum remaja.

Saya lebih sering bersama Ibu, sebab hari-hari bapak berada di kantor, kecuali hari libur. Untuk meminta sesuatu, saya lebih sering mengutrakannya kepada Ibu saya.baca lanjutannya

Berangkat sholat jumat mungkin adalah waktu terbanyak untuk berdua saja dengan Bapak dalam hidup saya. Selebihnya waktu dihabiskan bersama seluruh anggota keluarga: Bapak, Ibu, dan 6 orang anaknya.

Belum sempat saya merasakan benar-benar dekat dengan Bapak saya, kejadian itu muncul ketika saya menjelang remaja. Bapak jatuh di kamar mandi rumah kontrakan di Bojonegoro, stroke. Beliau sempat sembuh, hingga kambuh lagi di rumah kami di Batu. Sejak itu, kelumpuhan menemani bapak.

Maka masa remaja saya jalani tanpa ada yang mengajari saya bagaimana menjadi seorang lelaki sejati, atau belajar elektronika seperti yang diajarkan Bapak kepada Kakak saya. Saya hanya menemui bapak sebentar di rumah, pamit pergi untuk menemui kawan-kawan saya hampir tiap hari

Paling tidak, itulah kenangan saya tentang Bapak yang begitu sedikit membekas di ingatan saya... hingga anak-anak saya mengingatkan saya.

Dynamic Duo, putri kembar saya itu sedang aktif-aktinya dan suka bereksperimen. Akhir-akhir ini mereka sudah mulai bisa memakai sepatu sendiri, sebab saya dan si Ummi baru saja memberikan mereka masing-masing sepasang sepatu baru. Bukan hanya bersemangat dalam hal sepatu mereka juga sangat bersemangat dalam hal "kaos kaki".

Berhubung memakai kaos kaki lebih susah daripada memakai sepatu, mereka pun menemukan hal lain yang bisa dilakukan, "mencopot kaos kaki". Entah itu kaos kaki mereka sendiri, kaos kaki si Ummi, ataupun kaos kaki saya. Sepulang si Ummi belanja atau sepulang saya kerja, mereka bersedia mencopotkan kaos kaki kami.

Sekarang, setiap pulang kerja, saya sodorkan kaos kaki saya untuk mereka lepaskan, satu kaki satu anak... Dan lalu mereka mengingatkan kenangan lain tentang Almarhum Bapak bersama saya.

Dahulu, saya dengan senang hati menyambut Bapak pulang ke rumah, menunggu untuk melepas sepatu dan kaos kaki Bapak. Sembari menanyakan kabar saya hari itu, bapak menyodorkan kakinya. Biasanya, jika bapak bertugas agak jauh dari rumah, ada oleh-oleh yang disertakannya.

Lalu berusulan memori tentang bapak ter-restore ke otak saya. Bagaimana dia selalu menawarkan mainan, pakaian, sepatu.. Mengajak saya nonton bola di lapangan dan membawa saya berkaraoke dengan kawan-kawan kantornya. Mengenalkan saya pertama kali dengan yang namanya "Pizza" yang seringkali hanya dibelikannya hanya untuk saya.

Ternyata begitu banyak kenangan yang secara tak sengaja terdelete dari ingatan saya, mungkin sebab kesibukan saya yang melalaikan.

Sekarang saya mulai menikmati rutinitas pulang kerja saya, putri-putri lucu saya dengan bersemangat melepas kaos kaki saya. Mungkin seperti ini perasaan yang dirasakan Bapak dulu...

Alhamdulillah, saya punya Bapak yang baik... yang melimpahi saya dengan kasih sayang, meski tak mengajarkan saya elektronika atau bermain gitar...

Alhamdulillah, saya punya anak-anak yang mengajarkan saya arti menjadi seorang Bapak...

PS : Jika ada Ayah yang buruk, carilah kebaikannya, jadikan kebaikan itu alasan untuk berbakti kepadanya, meski berbakti itu sebuah tuntutan, tanpa perlu alasan...

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (Al Isro’: 23 )



Penulis  :  Rizky M 
Sumber :  Eramuslim.com

Rabu, 23 Juni 2010

Cinta Itu Berkorban


Setengah mati nahan tangis, akhirnya air mata gue jebol juga. Gue akui gue emang tipe artis bollywood banget. Gampang nangis…eh yang suka nangis itu artis India apa Korea ya? Yang pasti secara tampang sih gue Shakruk Khan banget. Haah!

Yang pasti tangisan suci ini akibat nonton Kick Andy versi pasangan suami istri yang ga normal. Maksud gue yang satu fisiknya normal yang satu engga’. Cuma hebatnya mereka kayak pasangan sejati banget. Best couples in the world dah!

Acara Kick Andy edisi ‘cinta ga melihat fisik’ ini ditayangin 2 minggu berturut-turut. Diulang jum’at malem ama minggu sore. Biasanya walopun jumat malem gue udah nonton, minggunya nonton lagi. Abis apa aja yang diangkat ama Kick Andy emang keren dan menyentuh sih. Ga kayak infotainment itu.

Yang edisi minggu pertama dikisahkan beberapa pasangan yang perempuan fisiknya normal juga cantik, sementara suaminya ga normal, ada yang gagu, buta dan ada ga bisa jalan pake. Pokoknya kalo dibayangin kagak bakal bisa nikah deh. Tapi buktinya mereka nikah, dan kalo ditanya apakah mereka bahagia, merekapun menjawab ya!

Pas minggu itu, abis selesai nonton, Fatimeh istri gue bilang, “Tuh, kan Pa, wanita itu emang bisa menerima seorang pria buat jadi suaminya dalam kondisi apapun. Wanita itu hebat kan kayak mama?”

Gue sih waktu itu bilang, “ya ma, wanita itu hebat ya. Setau papa yang namanya pria pasti ga bakalan melakukan hal yang sama. Mereka pasti mikirin fisiknya dulu number one!”

“Kalo kita ni ya pa, bisa menerima cowok apapun dia, yang penting udah yakin. Apalagi yakinnya ditambah cinta.”

“Ungkapan cinta itu buta berarti emang benar adanya ya, Ma.” Tanya gue kemudian. Gue sih ga menyangsikan cintanya die ke gue. Tapi ga ada salahnya pura-pura nanya. Pura-pura tersesat di jalan.

“Buta, tapi bagi mama tetep ngeliat dikit kok. Mata yang satu dipejemin, yang satu ngelirik-ngelirik. Buktinya mama milih papa yang ganteng. Hehe...”

“Papa ganteng ya? Alhamdulillah ada juga yang mengakuinya, hehe...tapi soal menerima apa adanya gimana tuh, Ma?”

“Ya, mama juga kan menerima papa adanya, pas nikah dulu kan papa juga belom ada penghasilan. Kita blom punya apa-apa. Tapi tetep mama trima. Bukan seperti cewek yang lain. Kalo yang lain kan bilangnya gini, ya udah kamu sekarang adanya apa? Klo ada mobil, rumah sendiri, kerjaan tetap baru aku terima jadi suamiku.”

“Sebenernya ga salah juga lho Ma, kalo ada mempersyaratkan ini dan itu. Kan itu juga bisa membangun kebahagiaan pasutri.”

“Iya, tapi jangan diutamakan banget dunk. Kata orang pinter, kebahagiaan itu bukannya dicari tapi dibangun. Jadi apapun dasarnya, background bahkan pisik seseorang tidak bisa dijadikan barometer utama untuk membangun keluarga.”

Bener juga kata istriku, sejak kapan dia pinter. Hehe.

Paling tidak apa yang ditayangin di Kick Andy itu menjadi bukti, bahwa dasar fisik yang sering didambakan pada sang pasangan tidak selalu bisa dijadikan acuan. Asal kita tulus menerima apa adanya pasangan kita maka kebahagiaan bisa dibangun. Sebaliknya bila pencariaan kita hanya pada kesempurnaan-kesempurnaan fisik dan ekonomi, bisa bisa itu hanya sementara dan semu. Betapa banyak pasangan sempurna hasil akhirnya tidak bahagia, cerai, dsb...

Pasangan selebritis misalnya, mereka adalah contoh kongkret betapa kesempurnaa, ketenaran dan kekayaan tidak berarti bila tidak adanya upaya saling memahami. Bahkan cenderung mencurigai. Jelas juga, artis kan disuruh maen film atau sinetron berpasangan ama sapa aja biasa. Gimana ga cemburu pasangannya? Dan juga sebab yang lainnya. Misalnya ada artis baru yang lebih cakep, berpaling deh. Penghasilan bulanannya ga sama. Statusnya ada yang lebih tinggi. Keturunannya ada yang lebih terhormat, dll.

“Seringnya ni ya Pa, kita harus banyak memberikan pengorbanan untuk menciptakan kebahagiaan.”

“Termasuk pengorbanan perasaan bahwa pasangan kita bukan makhluk yang sempurna. Yang pasti ada kelemahan dan kesalahan ya Ma.”

“Lihat bagaimana ada yang menerima suaminya ga bisa berjalan normal, ada yang suaminya buta, ada yang suaminya ga bisa bicara. Tapi mereka masih mau menerima!”

“Cinta tanpa pengorbanan itu mustahil. Bohong belaka. Ingat dulu, apa yang dilakukan nenek ketika kakek divonis ginjalnya harus diangkat semua karena kecing batu. Nenek dengan ikhlas dan sadar nyerahin ginjalnya satu buat kakek hingga kakek sampai sekarang dengan ijin Allah masih hidup. Itulah cinta, pengorbanan!”

“Betul, Pa. Kalau semua orang memahami hal itu, maka kemakluman-kemakluman bisa diciptakan, rasa maaf dan penghormatan bisa ditumbuhkan. Dan pengertian-pengertian bisa disambungkan. Ketika pengorbanan dilakukan maka betapa cepat cinta bisa ditumbuhkan!”

“Selanjutnya keluarga yang sakinah Mawaddah wa rahmah bisa muncul ke permukaan!”



Oleh : Arifwita

Sumber : Eramuslim.com



desaint

Jumat, 11 Juni 2010

Kecoa Suka Tantangan

Hari ini aku mandi di rumah sebelah, rumahku kran PAM-nya macet. Sudah dua minggu lebih rumah sebelah ini tak dihuni. Kalau bukan terpaksa, ogah aku mandi di sini. Bersama empat kawan-kawanku yang manis, kami menyalakan seluruh lampu plus membersihkan ruangan. Aku langsung tancap gas menuju kamar mandi.

Ada yang unik di sini. Seekor kecoa. Binatang menjijikkan dan menyebalkan. Berwarna coklat besar dengan antena panjang di kepala. Kakinya Masya Allah kekar sekali. Tubuhnya seukuran jempol kaki orang. Makmur rupanya si kecoa ini.

Mandi bareng sama Kecoa? Ndak lah ya. Makanya, aku gencarkan aksi menyiram air habis-habisan agar dia hanyut ke lubang pembuangan. Mengusirnya? Bukan cara efektif, menurutku. Kecoa akan hinggap di tempat bersih lain, itu pilihan yang buruk. Membunuh kecoa? Aku lagi ndak mood membunuhnya. Aku ingin menyingkirkannya saja.

Toh kalau dibunuh, aku tak ingin melihat zombie di dekatku. Kecoa itu binatang yang sulit dibunuh. Kecuali diremukkan seluruh body. Resikonya, ampun baunya. Kecoa akan tetap bertahan hidup meski dipotong menjadi dua bagian.

Oh, ya, ada satu hal yang membuat kecoa mati perlahan-lahan. Buat dia pada posisi kaki di atas. Dia paling benci posisi itu dan berusaha meronta-ronta kembali tengkurap. Paling-paling 4 hari dia akan mati kecapean. Uh… sadis man!

Nah, waktu kuguyur air bergayung-gayung, dia terus saja bertahan, bahkan malah menuju arah di mana air itu dialirkan, terus begitu. Terus merangkak melawan arus. Ini yang menjadi perhatianku. Aku iseng terus mengguyurnya dengan air pada kecepatan lebih tinggi. Eh... dia berusaha bertahan, mensejajarkan tubuhnya ke arah air mengalir. Dan berjalan menuju kakiku. Ih, ini bandel amat sih! Menyebalkan! Akhirnya aku malah kasihan, kelelahan, dan membiarkan dia mojok di ruangan ini.

Ah, kecoa ini, walau mengesalkan dia makhluk detritrivor, pengurai sampah yang dibutuhkan. Hebatnya, dia hidup di antara kebencian manusia. Mana ada orang yang suka dengan kecoa. Makanan yang tak sengaja disinggahinya akan langsung dibuang. Tempat bersih yang dijejakinya akan segera dibersihkan ulang.

Aku respek sama perjuangannya untuk bertahan menerima serangan luar yang begitu dahsyat. Paling sulit untuk dihancurkan dan dibunuh. Semangat hidupnya tinggi di antara kebencian semua orang. Seakan-akan dia berbicara,”Kehidupanku sangat berarti bagi kalian. Aku hidup untuk kebaikan lingkungan. Oleh karenanya, kenapa aku diciptakan, masa bodoh kebencian kalian.”

Satu-satu kelemahan si kecoa adalah dirinya sendiri. Kalau dia terjungkal pada posisi terlentang. Ia tak bisa kembali ke posisi semula. Itulah kiamat baginya.

Mirip seperti manusia, penghancur utama hidupnya adalah dirinya sendiri. Persepsi dan pikiran di dalam dirinya. Apakah positif atau negatif. Ketika dia berpikir negatif, menganggap segala sesuatu dari luar adalah serangan dan dia merasa tak berdaya , ia akan kalah.

Namun ketika ia berpikir positif, segala serangan dari luar merupakan masukan yang berharga untuk mengevaluasi langkahnya dan menjadi cambuk kemajuan. Dia akan menjadi orang yang luar biasa di tengah deras ketidaksukaan.

Les Giblin mengatakan kebanyakan diri kita berharap dan mencari cara agar orang lain beranggapan baik terhadap diri kita. Segala upaya diusahakan untuk menarik perhatian orang lain. Supaya kita dianggap orang shalih, shalihah, baik, ramah, dan lain-lain. Kita bahkan memanipulasi diri kita. Menipu diri.

Namun sebenarnya bukan begitu caranya, semua berawal dari pikiran dan persepsi kita. Kala kita berkata pada diri kita, bahwa aku orang ramah, aku sangat mencintai diriku, mensyukuri karunia Allah, aku orang yang terbuka dan baik hati. Tanpa disadari semua aktivitas dan perbuatan kita dikendalikan sesuai apa persepsi dan pikiran kita tentang diri kita tersebut. Maka yang terjadi adalah orang-orang di sekitar kita pun beranggapan seperti yang kita inginkan dan mencintai kita.

Percaya tidak? Saat kita bilang kita orang ramah setiap hari di depan cermin, dan kita meyakini hal itu. Tanpa kita sadari tiap kali berjumpa orang lain kita lemparkan senyum tulus, orang pun membalas hal serupa. Seyuman yang tulus juga. Lalu bagaimana kalau kita berpikir kita adalah orang sukses?

Terima kasih kecoa, sungguh kamu diciptakan tanpa sia-sia.



Penulis  : Aris Solikhah

Sumber : KotaSantri.com

Kamis, 20 Mei 2010

Nasi, Garam Dan Minyak Jelantah


Siang hari yang panas menjelang zuhur, saya masih bermadikan keringat sehabis mengikuti "aksi" menolak kedatangan BUSH yang berakhir di Bundaran masjid Agung. Karena begitu dahaga, saya dan beberapa orang teman, kemudian mencari penjual minuman dan makanan kecil yang banyak di sekitar masjid megah itu.

Setelah puas menghilangkan dahaga, saya dan beberapa orang teman kemudian sedikit kebingungan untuk membuang limbah plastik, sisa minuman dan makanan. Akhirnya kami pun mendapatkan akal untuk membuangnya di sela-sela pagar yang mengitari masjid itu. Ketika hendak beranjak meninggalkan tempat kami nongkrong tadi, tiba-tiba datang seorang laki-laki bertubuh legam dan berpakaian lusuh mengambil plastik, yang masih berisi es dan cuka empek-empek yang telah kami buang. Dan mau tahu apa yang dilakukan laki-laki itu. Saya melihatnya, laki-laki itu meminum es yang masih tersisa di plastik yang telah saya buang. Setelah puas, kemudian ia kembali mengambil plastik yang masih berisi cuka empek-empek. Dan menghirupnya sampai habis. Kemudian membuang plastiknya dan meninggalkan saya dan teman-teman yang masih tertegun menyaksikan kejadian yang hanya berlalu beberapa detik itu.

Sesampai di rumah menjelang magrib, saya kembali teringat kejadian siang tadi. Hati saya miris menangis dan merasa begitu bodoh dan tersindir. Selama ini saya jarang bersimpati kepada pengamen di bus-bus yang bobrok atau pengemis-pengemis yang banyak berjajar di jembatan-jembatan penyeberangan. Toh saya pikir mereka hanya manusia-manusia pemalas yang hanya menggantungkan hidupnya dari belas kasihan orang lain. Namun, saya tidak pernah berpikir serius, ternyata kehidupan begitu keras, hingga membuat banyak orang yang kelaparan dan makan dengan mengais-ngais sisa makanan orang lain yang telah dianggap sampah.

Tiba-tiba ingatan saya, tertuju pada kejadian belasan tahun yang lalu. Waktu itu saya masih bocah ingusan yang baru duduk di sekolah dasar. Salah satu teman bermain saya, sebut saja namanya Ita pernah bertanya kepada saya.

“Eh, kamu kalo makan, senengnya pake lauk apa,” tanyanya.

Sayapun kemudian menjawabnya dengan bercerita dengan panjang lebar. Dengan bangga saya mengatakan kepadanya, bahwa tiap hari saya makan dengan lauk pauk yang serba mewah, tentu dengan dibumbui kebohongan di sana-sini, dengan tujuan agar dia merasa iri. Namun di luar dugaan saya, dia hanya tersenyum tipis dan kemudian berkata kepada saya.

“Oh, kalo aku di rumah, paling seneng makan nasi sama garam dan minyak jelantah,” ujarnya bangga.

Mendengar semangatnya ia bercerita tentang makanan favoritnya itu, membuat saya mersa iri. Hingga pada suatu kesempatan ketika saya bertandang kerumahnya yang sempit dan berlantai tanah, sayapun memintanya untuk menunjukkan makanan favoritnya itu. Sesampainya dirumahnya, teman saya itupun menunjukkan makana favoritnya itu, dan akhirnya terjawablah sudah pertanyaan saya bagaimana bentuk si minyak jelantah itu. Minyak sisa menggoreng yang warnanya sudah menghitam, mungkin karena seringnya digunakan untuk menggoreng. Kemudian ia mencampurnya dengan garam dan menuangkannya di atas nasi putih, untuk kemudian memakannya dengan lahap. Begitu irinya saya melihat dia melahap makanan favoritnya itu, hingga saya pun buru-buru pulang ke rumah, tentu karena penasaran dengan rasa makanan favoritnya itu.

Sesampai dirumah, mulailah saya mencari “sang minyak jelantah” di atas penggorengan yang warnanya tidak sehitam ketika saya lihat di rumah Ita teman saya. Kemudian mencampurnya dengan garam, dan menyiramkannya di atas sepiring nasi putih yang telah saya siapkan. Satu suapan masuk kemulut saya. Alhasil sayapun muntah.

Saat itu yang ada dipikiran kecil saya, adalah perasaan iri kepada teman saya Ita. Mengapa dia begitu menikmati makanan favoritnya itu, sedangkan saya malah memuntahkannya. Apakah ada yang salah denagn lidah saya? Menjelang dewasa, sayapun mengerti dengan sendirinya. Ya, sang Ita mungkin telah terbiasa dengan nasi, garam, dan minyak jelantahnya. Hingga yang ada di lidahnya, bukan lagi enak, tahu tidak enaknya ketika makanan itu masuk kemulutnya, tetapi lebih kepada kebutuhan perut yang tidak bias menimbang untuk memilih makan yang masuk kedalamnya. Seperti juga dengan lelaki lusuh yang saya temui di dekat masjid Agung itu. Mengapa lelaki itu tidak mersa jijik ketika memakan sampah sisa makanan orang lain.

Saya memang bukan seorang anak konglomerat yang memiliki perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Tetapi bukan juga sang Ita yang makan dengan nasi, garam dan minyak jelantah. Cukuplah untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan asupan gizi yang lumayan. Ketika saya begitu nelangsa, karena uang kiriman dari orang tua, tidak sebanyak yang diterima oleh teman saya yang memiliki laptop dan kamera digital. Saya mencoba untuk mencambuk hati saya dengan mengenang ita teman kecil saya. Ketika saya merasa begitu miskin karena tidak semua keinginan saya bisa semuanya terwujud. Saya mencoba untuk lebih banyak melihat ke bawah. Pengamen-pengamen cilik dengan pakaian kumal dan kericikan lusuhnya. Mbah-mbah di pasar tradisional yang menjual sayuran yang sudah layu. Wanita-wanita muda yang usianya mungkin jauh di bawah saya di tempat-tempat pengisian bahan bakar. Gadis kecil yang sering meneriakkan nasi uduk di tempat kos saya yang lama. Bapak penjual empek-empek yang berjalan lebih dari 20 Km. Melihat itu semua, membuat saya merasa begitu kecil. Ternyata selama ini saya baru sadar. Uang ongkos angkot saya pergi dan pulang dari kampus. Makanan-makanan yang saya beli di warung-warung nasi. Cemilan yang menemani malam-malan saya. Pulsa di hp butut saya. Buku-buku yang dengan bangganya saya pamerkan kepada teman-teman saya. Fotokopian tugas kuliah saya. Ternyata semua itu berasal dari kiriman orang tua saya setiap bulan. Dan bentuk belas kasihan dari sang Maha Pemberi kepada diri saya yang hina dan kikir untuk berinfak walau hanya seribu, dua rupiah. Dan semua itu membuat saya malu, sungguh. Wallahu’alam.


Sumber  : eramuslim.com
Penulis   : Dian Sianturi



desaint